Rabu, Agustus 06, 2008

Dilema Pinjaman Luar Negeri

Dian Ediana Rae dan Sari Nadia Z Rizal

MASALAH pinjaman luar negeri Indonesia dianggap oleh banyak pihak telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari munculnya kembali berbagai komentar mengenai masalah pinjaman luar negeri dalam berbagai kesempatan. Tidak ketinggalan, masalah ini pun menjadi topik yang cukup ramai dibicarakan sebagai tema kampanye dalam pesta demokrasi yang sedang berlangsung dewasa ini. Topik pembicaraan pinjaman luar negeri ini biasanya selalu mengarah pada dilema perlu tidaknya berutang untuk menutupi kesenjangan pembiayaan.

MENGINGAT peranan pinjaman luar negeri masih besar bagi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, maka yang lebih penting sebenarnya adalah mengetahui permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pinjaman luar negeri Indonesia. Selain itu, mencari cara untuk mengatasi permasalahan tersebut serta menentukan langkah ke depan dalam pengelolaan pinjaman luar negeri Indonesia.

Kekhawatiran banyak pihak terhadap kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun pinjaman swasta cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia, baik pinjaman pemerintah maupun swasta, memang masih menunjukkan tingginya kewajiban Indonesia dalam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri.

Beberapa indikator yang lazim digunakan dalam mengukur beban utang, seperti debt service ratio (DSR/rasio cicilan dan pokok utang terhadap ekspor), debt to export ratio (rasio utang terhadap ekspor), dan debt to GDP ratio (rasio utang terhadap produk domestik bruto), telah menunjukkan adanya perbaikan pada masa pascakrisis ini.

Bahkan, untuk tahun 2003, khusus untuk debt to export ratio dan debt to GDP ratio telah berada di bawah atau paling tidak masih dalam batas warning indicator yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Posisi pinjaman luar negeri

Bank Dunia menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan sebagai negara pengutang berat (severly indebted country) jika negara yang bersangkutan memiliki debt to GDP ratio di atas 80 persen dan debt to export ratio lebih besar dari 220 persen.

Meskipun demikian, berbicara mengenai indikator, hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa warning indicator tersebut pada dasarnya bukan merupakan standar absolut dan kurang pas apabila dilihat dari sisi besaran nominalnya saja. Sebagai contoh, pada tahun 1997 debt to export ratio dan debt to GDP ratio masing-masing sebesar 207,3 persen dan 62,2 persen. Apabila dilihat dari rasio tersebut, Indonesia bukanlah tergolong severly indebted country.

Akan tetapi, kedua indikator tersebut, bersamaan dengan kriteria lainnya-misalnya Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita-menyebabkan Indonesia masih termasuk dalam negara pendapatan menengah pengutang berat (severly indebted middle-income country).

Di samping itu, Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 bahwa jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan daerah dibatasi tidak melebihi 60 persen dari PDB.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada indikator yang standar dalam hal ini. Yang lebih penting adalah memahami implikasi dari rasio tersebut ketimbang melihatnya dari nilai nominalnya saja.

Perkembangan rasio utang

Rasio utang terhadap PDB dapat dilihat sebagai kriteria untuk mengecek kesehatan keuangan suatu negara, di mana rasio di atas 50 persen menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri Indonesia telah membebani lebih dari 50 persen pendapatan nasional.

Beberapa studi bahkan berpendapat, kontribusi utang terhadap pertumbuhan ekonomi akan menjadi negatif apabila rasio utang terhadap PDB telah melampaui 50 persen. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila negara-negara berkembang banyak yang memakai standar rasio utang terhadap PDB di atas 60 persen sebagai lampu kuning.

Pemerintah Indonesia juga memiliki motivasi dan komitmen yang kuat untuk membawa rasio utang terhadap PDB tersebut menjadi di bawah 50 persen pada akhir 2006, mengingat institusi-institusi Indonesia sebagai negara berkembang belum sekuat negara maju.

Pertumbuhan ekonomi

Sebenarnya pinjaman luar negeri Indonesia memang sudah memperlihatkan tanda-tanda yang sangat mengkhawatirkan.

Hal tersebut tercermin dari posisi pinjaman yang besar dan cenderung meningkat sampai dengan tahun 1998 serta besarnya indikator beban pinjaman yang bahkan telah melampaui batas warning indicator internasional.

Ditambah lagi adanya fenomena pergeseran struktur pinjaman luar negeri Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya pinjaman luar negeri pemerintah yang bersifat komersial, baik di pasar internasional maupun domestik, serta utang swasta secara signifikan.

Pergeseran peranan pinjaman luar negeri pun telah terjadi, dari semula yang bersifat sebagai pelengkap dan bersifat sementara menjadi peranan sebagai sumber utama dalam pembiayaan pembangunan.

Fenomena pergeseran struktur dan peranan pinjaman luar negeri tersebut berakibat pada tingginya tingkat akumulasi stok utang saat ini dan semakin beratnya beban cicilan pokok dan bunga (debt service) yang dipikul oleh masyarakat Indonesia.

Sebagai akibatnya, banyak pihak berpikir bahwa Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak perlu menambah utang baru dan bahkan dari sisi ekstrem berpendapat, kita tidak perlu berutang karena utang hanya menambah beban dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Akan tetapi, benarkah utang hanya merupakan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi? Secara teori, sebagaimana suatu perusahaan yang baru berjalan, utang pada tingkat yang wajar sangat dibutuhkan bagi negara berkembang karena mempunyai dampak yang positif terhadap investasi dan pertumbuhan ekonominya.

Lalu, mengapa tingkat akumulasi utang yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara? Penjelasan mengenai hal ini dapat didasarkan pada beberapa teori yang berkembang, misalnya laffer curve dan debt overhang theories.

Pada intinya, debt overhang theories menggambarkan bahwa semakin besar akumulasi utang suatu negara, maka akan semakin menurunkan kemampuan membayar kembali utang tersebut. Sementara itu, laffer curve menggambarkan efek akumulasi utang terhadap pertumbuhan PDB. Menurut teori ini, utang memang diperlukan pada tingkat yang wajar dan penambahan utang akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi sampai pada suatu titik atau limit tertentu.

Pada kondisi inilah utang merupakan kebutuhan normal setiap negara. Namun, pada saat stok utang telah melebihi limit tersebut, penambahan utang mulai membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Apabila dilihat dari fenomena utang luar negeri Indonesia, dapat diilustrasikan bahwa pola yang terjadi di Indonesia pada dasarnya telah mengikuti kedua teori tersebut. Dampak positif penambahan utang terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi di Indonesia, yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru.

Masalah pendapatan per kapita yang rendah dan lemahnya modal dalam negeri, walaupun telah ada upaya memobilisasi tabungan masyarakat, perbaikan struktur perpajakan dan kebijakan menarik investasi, ternyata masih belum mampu mengatasi masalah kebutuhan modal yang semakin besar.

Pada masa ini Pemerintah Indonesia memutuskan bahwa pinjaman luar negeri diperlukan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan terutama berperan sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Akan tetapi, dengan semakin bertambahnya akumulasi utang, pertumbuhan PDB dan investasi mulai menurun. Dalam kasus Indonesia, pola bertambahnya akumulasi utang dimulai sejak maraknya semangat liberalisasi dan deregulasi sekitar tahun 1988 dan peniadaan platform utang sebagai pelengkap dalam GBHN. Artinya, utang sejak saat ini bukan lagi dipandang hanya sebagai pelengkap, tetapi malahan sebagai sumber utama.

Ditambah lagi, meningkatnya jumlah utang tersebut tidak diiringi oleh kebijakan utang yang hati-hati (prudent borrowing policy), khususnya pada utang swasta. Dengan demikian, utang bukan mendorong investasi dan pertumbuhan PDB, tetapi malah pada gilirannya menyebabkan kondisi krisis utang di Indonesia.

Pada saat itulah baru disadari bahwa beban pinjaman luar negeri Indonesia telah sedemikian besarnya dan besarnya beban pinjaman tersebut merupakan salah satu faktor utama yang memicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia serta terhambatnya perekonomian untuk keluar dari krisis tersebut.

Pada masa krisis ini pulalah bermunculan komentar dari berbagai pihak yang berkepentingan yang mempermasalahkan perlu tidaknya pinjaman luar negeri Indonesia. Namun, apakah saat ini kita sudah dalam kondisi di atas "limit tertentu" sehingga tidak perlu lagi memperoleh pinjaman luar negeri?

Fungsi pengelolaan utang

Pertanyaan yang lebih penting dikemukakan adalah bagaimana menetapkan limit itu sendiri serta apa yang harus dilakukan apabila kita sudah berada di atas limit. Penetapan limit sebenarnya merupakan bagian yang tak terlepas dari manajemen pinjaman luar negeri secara keseluruhan.

Mengelola pinjaman luar negeri membutuhkan suatu landasan yang kuat untuk mengupayakan agar kebutuhan pembiayaan pemerintah dan kewajiban pembayarannya berada pada biaya yang seminimal mungkin dalam jangka panjang dan menengah, serta dengan mempertimbangkan tingkat risiko dalam batas toleransi pemerintah.

Sehubungan dengan itu diperlukan kerangka kelembagaan manajemen utang dalam pengelolaan utang luar negeri, khususnya pinjaman luar negeri pemerintah, yang mengintegrasikan fungsi-fungsi front, middle, dan back office secara efisien dan berpedoman pada prinsip-prinsip utang yang hati-hati. Dalam pengelolaan tersebut, selain memosisikan fungsi front office dan back office secara benar, fungsi middle office perlu didirikan secara terpisah dari front office.

Fungsi middle office dalam hal ini adalah melakukan kegiatan pengawasan, manajemen risiko, mengevaluasi berbagai isu yang terkait dengan pinjaman luar negeri, serta menentukan utang yang baik.

Untuk membuat suatu struktur utang yang baik perlu dikembangkan kriteria atau portofolio patokan (benchmark portfolio), antara lain penentuan besarnya jumlah pinjaman optimal dari pinjaman luar negeri pemerintah, komposisi mata uang pinjaman yang dapat meminimumkan risiko eksternal, terutama risiko nilai tukar dan suku bunga, serta patokan dalam penentuan durasi dan struktur jatuh tempo pinjaman yang diinginkan.

Dengan mengacu pada patokan (benchmark) tersebut, diharapkan dapat memberikan dasar untuk menjawab masih perlu atau tidaknya pemerintah melakukan pinjaman luar negeri sehingga kita bisa menyikapi permasalahan pinjaman luar negeri secara proporsional dan pada esensinya.

Dengan adanya patokan tersebut, maka kebutuhan pinjaman luar negeri untuk menutupi kesenjangan pembiayaan tidak semata-mata hanya berdasarkan perhitungan kekurangan pendapatan negara dalam menutupi seluruh pengeluaran nasional, namun juga harus mempertimbangkan risiko-risiko yang melekat pada pinjaman itu sendiri.

Efektivitas pinjaman

Dengan jumlah pinjaman dan kewajiban pembayaran pokok serta bunga yang demikian besar, tampaknya perlu ditumbuhkan dan ditingkatkan kesadaran bersama mengenai efektivitas dan efisiensi pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah.

Efektivitas dan efisiensi pinjaman tersebut harus diperhatikan dalam setiap tahap pelaksanaan pinjaman luar negeri. Dalam konteks pinjaman Consultative Group on Indonesia (CGI), permasalahan utama yang terjadi adalah lemahnya daya serap pinjaman (slow and low disbursement).

Berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan pinjaman CGI ini menyadari bahwa lemahnya daya serap antara lain disebabkan oleh kurangnya dana pendamping dari pinjaman luar negeri, kurangnya alokasi dana pembebasan tanah, keterlambatan dan pengadaan dalam proses tender, serta masalah backlog dalam mekanisme penarikan pinjaman.

Sementara itu, pencairan bantuan program sangat bergantung pada pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan dalam matriks kebijakan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan dalam konteks pinjaman luar negeri ini adalah masalah pengawasan dalam realisasi proyek/program yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri.

Beberapa pengamat menduga telah terjadi kebocoran dalam realisasi program dan proyek yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri dengan jumlah yang cukup substansial. Oleh karena itu, kebutuhan akan mekanisme dan format pengawasan yang efektif dan lebih memadai menjadi sangat mendesak untuk mengatasi persoalan tersebut.

Pada dasarnya, pemerintah telah memiliki sistem pengawasan terhadap proyek-proyek yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri, baik yang bersifat pasca-audit maupun pada saat proyek/program sedang berjalan.

Meskipun demikian, efektivitas sistem dan mekanisme yang telah ada tersebut masih perlu lebih ditingkatkan agar hasil evaluasi yang telah diperoleh akan lebih dirasakan manfaatnya dalam memberikan umpan balik (feed back) terhadap perbaikan perencanaan, penyiapan, dan pelaksanaan proyek-proyek pinjaman luar negeri.

Penyelesaian pinjaman

Permasalahan lain yang sangat krusial adalah tingginya beban cicilan dan bunga utang dalam permasalahan pinjaman luar negeri. Untuk itu diperlukan langkah penyelesaian pinjaman luar negeri Indonesia secara cepat dan fundamental.

Sejauh ini penyelesaian yang sudah dilakukan oleh pemerintah meliputi penjadwalan kembali utang melalui Paris Club I, II, dan III serta London Club untuk pinjaman luar negeri pemerintah serta Jakarta Initiative, INDRA, Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta, Inter-bank Dect Exchange Offer I dan II, serta Trade Maintenance Policy untuk program restrukturisasi pada pinjaman luar negeri swasta.

Meskipun demikian, upaya penjadwalan utang melalui Paris Club bagi kebanyakan pihak dipandang hanya untuk menyelesaikan masalah dalam jangka pendek karena hanya dapat mengatasi masalah arus kas (cash flow treatment) dan tidak mencakup pengurangan stok utang (stock treatment).

Jika fasilitas yang diperoleh Indonesia hanya cash flow treatment atau penjadwalan utang saja, bukan tidak mungkin pembayaran utang selama periode 2004 ke depan akan mengakibatkan tekanan yang berkelanjutan pada APBN.

Ditambah lagi dengan keluarnya pemerintah dari program Dana Moneter Internasional (IMF), kesempatan untuk menjadwal kembali kewajiban pinjaman luar negeri yang jatuh tempo melalui forum Paris Club menjadi tertutup. Oleh karena itu, alternatif solusi lain, seperti pemotongan utang (debt haircut), pertukaran utang (debt swap), dan konversi utang (debt conversion), menjadi sangat diperlukan.

Dian Ediana Rae Kepala Bagian Pinjaman Luar Negeri Bank Indonesia

Sari Nadia Z Rizal Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Pinjaman Luar Negeri Bank Indonesia

Format Anggaran Terpadu, Menghilangkan Tumpang Tindih

Anggito Abimanyu

MINGGU yang lalu pemerintah telah mengusulkan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2005 dengan menggunakan format baru, yakni anggaran belanja terpadu (unified budget). Ini merupakan reformasi besar-besaran di bidang anggaran negara dengan tujuan agar ada penghematan belanja negara dan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Selama lebih dari 32 tahun, pemerintah melaksanakan sistem anggaran yang dikenal dengan dual budgeting, di mana anggaran belanja negara dipisahkan antara anggaran belanja rutin dan anggaran pembangunan.

PEMISAHAN anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan. Namun, dalam pelaksanaannya telah menunjukkan banyak kelemahan.

Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek-proyek nonfisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.

Kedua, penggunaan dual budgeting mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan.

Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi.

Keempat, proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau dihentikan, tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap aset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut.

Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output (outcome) yang dicapai dan penganggaran organisasi.

"T-Account" ke "I-Account"

Sebelum tahun 2001, prinsip Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah anggaran berimbang dinamis, di mana jumlah penerimaan negara selalu sama dengan pengeluaran negara, dan jumlahnya diupayakan meningkat dari tahun ke tahun.

Sejak tahun 2001 hingga sekarang, prinsip anggaran yang digunakan adalah anggaran surplus/defisit. Sejalan dengan itu, format dan struktur APBN berubah dari T-Account ke I-Account. Format dan struktur I-Account yang berlaku saat ini terdiri atas (i) pendapatan negara dan hibah, (ii) belanja negara, dan (iii) pembiayaan.

Pendapatan negara dan hibah menampung seluruh pendapatan negara yang bersumber dari (1) penerimaan perpajakan, (2) penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan (3) hibah.

Adapun belanja negara menampung seluruh pengeluaran negara, yang terdiri dari (1) belanja pemerintah pusat, yang meliputi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan (2) belanja untuk daerah, yang meliputi dana perimbangan dan dana otonomi khusus dan penyeimbang/penyesuaian.

Selisih antara pendapatan negara dan hibah dengan belanja negara akan berupa surplus/defisit anggaran. Guna menutup defisit anggaran, diperlukan pembiayaan yang bersumber dari luar pendapatan negara dan hibah, yang antara lain bersumber dari (1) pembiayaan dalam negeri dan (2) pembiayaan luar negeri.

Dalam sistem dual budgeting, pengeluaran rutin dimaksudkan sebagai pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan rutin pemerintahan, yang terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) pembayaran bunga utang, (iv) subsidi, dan (v) pengeluaran rutin lainnya.

Sementara itu, pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan sasaran pembangunan nasional, baik berupa sasaran fisik maupun nonfisik.

Dalam hal ini, pengeluaran pembangunan terdiri dari (i) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah, yang pendanaannya bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri dalam bentuk pinjaman program, dan (ii) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan proyek, yang pendanaannya bersumber dari luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek.

Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003, sistem penganggaran mengacu pada praktik-praktik yang berlaku secara internasional.

Menurut Government Financial Statistics (GFS) Manual 2001, sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, di mana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya.

Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit organisasi pemerintah; (4) bunga utang; (5) subsidi.

Kemudian, (6) hibah; (7) tunjangan sosial (social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk dikirim kepada unit lainnya.

Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001 dan UU No 17/2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru, antara lain:

Pertama, dalam format dan struktur I-Account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No 17/2003.

Kedua, semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/ subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi. Ketiga, semua pengeluaran negara yang selama ini "mengandung" nama lain- lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.

Tumpang tindih belanja

Dengan berbagai perubahan dan penyesuaian tersebut, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi) hibah, (vii) bantuan sosial, dan (viii) belanja lain-lain.

Adapun belanja untuk daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini, terdiri dari (i) dana perimbangan dan (ii) dana otonomi khusus dan penyesuaian.

Dengan adanya perubahan format dan struktur belanja negara menurut jenis belanja, secara otomatis tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified budget).

Beberapa pengertian dasar terhadap komponen-komponen penting dalam belanja tersebut, antara lain, belanja pegawai menampung seluruh pengeluaran negara yang digunakan untuk membayar gaji pegawai. Termasuk di dalamnya berbagai tunjangan yang menjadi haknya, dan membayar honorarium, lembur, vakansi, tunjangan khusus dan belanja pegawai transito, serta membayar pensiun dan asuransi kesehatan (kontribusi sosial).

Dalam klasifikasi tersebut termasuk pula belanja gaji/ upah proyek yang selama ini diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan. Dengan format ini, akan terlihat pos yang tumpang tindih antara belanja pegawai yang diklasifikasikan sebagai rutin dan pembangunan. Di sinilah nantinya efisiensi akan bisa diraih.

Demikian juga dengan belanja barang yang seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan guna pengadaan barang dan jasa, dan biaya pemeliharaan aset negara. Demikian juga sebaliknya sering diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan.

Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya).

Pos belanja modal dirinci atas (i) belanja modal aset tetap/fisik dan (ii) belanja modal aset lainnya/nonfisik. Dalam praktiknya selama ini, belanja lainnya nonfisik secara mayoritas terdiri dari belanja pegawai, bunga dan perjalanan yang tidak terkait langsung dengan investasi untuk pembangunan.

Subsidi menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membayar beban subsidi atas komoditas vital dan strategis tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, dalam rangka menjaga stabilitas harga agar dapat terjangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat.

Subsidi tersebut dialokasikan melalui perusahaan negara dan perusahaan swasta. Sementara itu, selama ini ada jenis subsidi yang sebetulnya tidak ada unsur subsidinya, maka belanja tersebut akan dikelompokkan sebagai bantuan sosial.

Bantuan sosial menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan sebagai transfer uang/barang yang diberikan kepada penduduk, guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, misalnya transfer untuk pembayaran dana kompensasi sosial.

Sementara itu, belanja untuk daerah menampung seluruh pengeluaran pemerintah pusat yang dialokasikan ke daerah, yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah.

Konversi belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dari format lama ke format baru disajikan dalam tabel 1 konversi belanja negara di bawah ini.

Pemberantasan KKN

Ke depan, sejalan dengan amanat UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya bagi masyarakat.

Jelas ada keinginan yang kuat dari pemerintah bahwa mulai tahun depan pengelompokan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan tidak boleh dipergunakan lagi karena telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran.

Sejalan dengan rencana jangka menengah sebagai penunjang penerapan perubahan format baru dan anggaran berbasis kinerja, ada beberapa langkah penting yang akan ditempuh, yakni pertama penyempurnaan format anggaran, kedua penyelesaian standar akuntansi pemerintah dan penyusunan neraca dan kekayaan negara.

Jelas, pemerintah saat ini sedang giat-giatnya melakukan reformasi yang signifikan di bidang keuangan negara dalam upaya memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan dimulai dari rumah tangganya sendiri. Upaya ini akan menjadi kado bagi pemerintah yang akan datang yang sangat berharga untuk menciptakan pemerintah yang bersih dan transparan.

Anggito Abimanyu Kepala Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan RI/ Dosen Fakultas Ekonomi UGM

waktu itu pedang